PERKATAAN YANG BAIK



Perkataan yang BAIK

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Perkataan yang baik adalah yang disukai Allah. Sebaliknya, perkataan yang buruk adalah yang dibenci-Nya. Perkataan yang baik adalah perkataan yang mengandung kebenaran dan manfaat. Setiap orang diwajibkan untuk berkata yang benar dan tidak boleh berbohong. Orang harus jujur dalam perkataannya! Selain itu, setiap perkataan harus mengandung manfaat. Kalau sekiranya seseorang mengetahui bahwa perkataannya tidak akan membawa manfaat, bahkan akan menimbulkan mudharat atau bahaya, maka wajib perkataan tersebut wajib ditinggalkan.
مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعاً إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ وَالَّذِينَ يَمْكُرُونَ السَّيِّئَاتِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَكْرُ أُوْلَئِكَ هُوَ يَبُورُ
Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. Dan rencana jahat mereka akan hancur. (QS. Fathir 35:10)


Perkataan atau kalimat yang baik ibarat pohon tinggi yang kokoh. Sedangkan perkataan atau kalimat yang buruk ibarat pohon runtuh. Itulah gambaran yang diberikan Allah SWT dalam firman-Nya, Q.S.Ibrahim ayat 24.

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَآءِ. تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ. وَمَثلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِن فَوْقِ الأَرْضِ مَا لَهَا مِن قَرَارٍ. يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَآءُ
"Tidakkah kalian perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Allah. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu agar mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang tercerabut akar-akarnya dari bumi, tidak dapat tegak sedikit pun. Allah meneguhkan iman orang-orang beriman dengan ucapan yang tegas itu dalam kehidupan dunia dan akhirat dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa saja yang Dia kehendaki." (Q.S Ibrahim :24-27)
                           

وَهُدُواْ إِلَى الطَّيِّبِ مِنَ الْقَوْلِ وَهُدُواْ إِلَى صِرَاطِ الْحَمِي
Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji. (Q, s. al-Hajj/22:24)
   

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat). [Qaf/50:18]. 


Para mufasir menguraikan makna kalimat toyibah itu berdasarkan ayat-ayat Quran lainnya yang menunjukkan jenis-jenis perkataan atau kalimat yang mengandung kebaikan. Antara lain qowlun ma'rufun. Ucapan yang baik nilainya lebih utama daripada sedekah (Q.S. Al Baqarah: 263). 

Juga qawlun syadid. Perkataan yang benar, yang akan memperbaiki amal-amalan, menuai ampunan, dan keunggulan yang jelas (Q.S. Al Ahzab: 70-71). 

Atau qawlun balighun. Perkataan yang cermat, jelas, efektif, membekas pada jiwa pendengarnya. (Q.S. An Nisa: 63). 

Selanjutnya qawlun karimun. Perkataan yang mulia, terutama terhadap ibu-bapak (Q.S. Al Isra: 23). Qawlun maysur, ucapan yang pantas. Tatkala pamit untuk meninggalkan perkara dosa dan mungkar. Sehingga menggugah kesadaran mereka (Q.S. 17:28). Qawlun layyinun, perkataan lemah lembut. Terutama dalam menghadapi kezaliman, baik di kalangan penguasa maupun masyarakat. Yang membuat pendengarnya ingat atau takut atas keingkaran mereka (Q.S.Thaha: 44). 



Abu Hurairah menyampaikan bahwa Rasulullah  bersabda,


مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah  dan hari akhir, hendaknya dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam.” (HR. al-Bukhari no. 6475 dan Muslim no. 48)Macam-macam ucapan yang baik di antaranya zikir kepada Allah l, tasbih, tahmid, membaca al-Qur’an, mengajarkan ilmu agama, menyuruh orang lain berbuat kebaikan, dan melarang orang lain dari kejelekan. Ini semua adalah perkataan yang memang berupa ucapan yang terpuji.
Ada pula ucapan yang baik karena sebab lain. Misalnya, perkataan yang tidak termasuk jenis ucapan yang terpuji (sebagaimana zikrullah –pen.), namun bertujuan menyusupkan kegembiraan pada diri teman duduknya. Ucapan seperti ini baik, karena menumbuhkan keakraban dan menghilangkan kekakuan. Bisa terbayang, jika seseorang duduk bersama orang lain, lalu dia tidak bisa berbincang-bincang dengan ucapan terpuji (seperti mengajarkan ilmu atau amar ma’ruf nahi mungkar –pen.), dan akhirnya hanya diam sejak bertemu hingga berpisah. Keadaan seperti ini tentu membuat kaku suasana dan tidak ada keakraban. Kalau dia berbincang-bincang dengan perkataan yang bukan jenis ucapan yang terpuji, namun bertujuan mencairkan suasana atau memberi suasana gembira kepada teman duduknya, ini adalah ucapan yang baik karena sebab yang lainnya. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, hlm. 200—201).
Oleh karena itu, kita berikan dorongan kepada mereka agar biasa mengucapkan zikir-zikir yang disyariatkan dalam keseharian. Selain itu, kita mengarahkan mereka agar selalu berucap dengan perkataan yang baik dan santun kepada siapa pun; ayah, ibu, kakak, adik, tetangga, teman, dan selainnya.
Setiap kali mereka mengatakan ucapan yang jelek dan kurang beradab, kita harus waspada dan segera memberikan peringatan. Lebih-lebih apabila ucapan itu dilarang oleh syariat. Kita hendaknya memberi pengertian bahwa ucapan yang mereka katakan adalah ucapan yang dilarang oleh Allah l dan Rasul-Nya. Ini agar mereka mengambil pelajaran dari larangan kita, dan diharapkan mereka tidak akan mengulanginya lagi. Rasulullah  pernah memberi pelajaran kepada ‘Aisyah x atas ucapan jelek yang diucapkannya. Dikisahkan oleh ‘Aisyah ,


قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ صَفِيَّةَ امْرَأَةٌ-وَقَالَتْ بِيَدِهَا هَكَذَا كَأَنَّهَا تَعْنِي قَصِيْرَةً-فَقَالَ: لَقَدْ مَزَجْتِ بِكَلِمَةٍ لَوْ مَزَجْتِ بِهَا مَاءَ الْبَحْرِ لَمُزِجَ.
“Aku pernah mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Shafiyyah itu seorang wanita (yang seperti ini).’ ‘Aisyah berisyarat dengan tangannya seolah-olah dia menyatakan ‘pendek’. Rasulullah n mengatakan, ‘Sesungguhnya engkau telah mengatakan sebuah kalimat yang jika engkau campurkan ke air laut, niscaya akan tercemari!’.” (HR. at-Tirmidzi no. 2502, dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani t dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)

Kadangkala pula, emosi yang belum matang membuat anak sulit mengendalikan kemarahannya. Akibatnya, ucapan yang terlontar pun kadang tak terkendali. Keluar celaan atau makian kepada orang atau sesuatu yang menjadi sumber kemarahannya. Melihat yang seperti ini, tentu tak layak kita tinggal diam. Anak-anak butuh bimbingan dan pengarahan.
Mereka perlu mengerti bahwa tidak pantas seorang yang beriman menjadi orang yang suka mencela dan berkata jelek. ‘Abdullah bin Mas’ud z mengabarkan dari Rasulullah,


لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلاَ اللَّعَّانِ وَلاَ الْفَاحِشِ وَلاَ الْبَذِيءِ
“Seorang mukmin itu bukanlah orang yang suka mencela, suka melaknat, suka berkata keji, dan suka berkata kotor.” (HR. at-Tirmidzi no.1977, dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani t dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)

Apalagi mencela teman yang muslim. Entah mencela kekurangan yang memang ada pada diri temannya atau yang tidak ada padanya. Rasulullah n melarang keras hal ini dan menyebutnya sebagai perbuatan fasik. Dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud  bahwa Rasulullah pernah bersabda,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim adalah perbuatan fasik dan membunuhnya adalah perbuatan kufur.” (HR. al-Bukhari no. 48)

Yang sering terjadi pula di antara anak-anak adalah pertengkaran akibat perselisihan atau celaan yang dilontarkan oleh salah seorang dari mereka. Pihak yang dicela membalas dengan celaan pula. Terus demikian hingga berujung pertengkaran.
Kita tengahi mereka dan kita ingatkan bahwa Rasulullah  pernah mengancam orang yang saling mencaci. Abu Hurairah  meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda,


الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالاَ فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُوْمُ
“Dua orang yang saling mencela dosanya ditanggung oleh yang memulai, selama orang yang dizalimi tidak melampaui batas.” (HR. Muslim no. 2587)

Artinya, dosa saling mencela yang terjadi di antara dua orang itu seluruhnya ditanggung oleh orang yang memulai, kecuali jika orang yang kedua melampaui batas kadar pembelaan diri sehingga balas mencela orang yang mulai mencela tersebut dengan celaan yang lebih banyak. (al-Minhaj, 16/140)
Memang tak mudah bagi anak untuk berdiam diri tanpa membalas celaan temannya. Namun, itulah sebenarnya yang lebih baik baginya. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Kitab-Nya yang mulia,

“Dan orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (asy-Syura: 43)

Rasulullah pernah pula memperingatkan dalam sabda beliau yang disampaikan oleh Jabir bin Salim
,

وَإِنِ امْرُؤٌ شَتَمَكَ وَعَيَّرَكَ بِمَا يَعْلَمُ فِيْكَ فَلاَ تُعَيِّرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فِيْهِ، فَإِنَّمَا وَبَالُ ذَلِكَ عَلَيْهِ
“Apabila seseorang mencaci dan mencelamu dengan aib yang ada padamu, jangan engkau balas mencelanya dengan aib yang ada padanya, karena dosanya akan dia tanggung.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil t dalam Shahihul Musnad 1/144)

Sayangnya, terkadang kita lalai mengingatkan anak-anak kita. Tak terasa, berkata kotor, mencela, dan memaki, sudah menjadi kebiasaan. Sedikit mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, mereka mudah mencaci dan mencela. Seolah-olah itu menjadi perkataan yang biasa. Kita memohon keselamatan bagi diri kita dan anak-anak kita dari yang seperti ini! Kita harus menyadari, kelalaian seperti ini dapat berujung kehinaan yang tak terkira bagi anak-anak kita.
Abu Hurairah  menyampaikan dari Rasulullah ,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا يَهْوِي بِهَا سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا فِى النَّارِ

“Sesungguhnya seseorang mengatakan satu ucapan yang dia tidak menganggapnya sebagai ucapan jelek, namun ternyata dengan ucapannya itu dia terjerumus selama tujuh puluh tahun di dalam neraka.” (HR. at-Tirmidzi no. 2314, dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani t dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Penyebutan tujuh puluh tahun di sini bermaksud menunjukkan lamanya masa tinggalnya di dalam neraka, bukan menunjukkan batas waktu (hanya selama tujuh puluh tahun, -pen.). (Tuhfatul Ahwadzi, hlm. 1849)
Apabila kita sudah mengetahui ancaman Rasulullah ini, mestinya kita tak lagi membiarkan buah hati yang kita cintai menuai kebinasaan, wal ’iyadzu billah!
Dengan terus memohon kepada Allah l, kita arahkan anak-anak agar terbiasa berkata-kata yang baik dan jauh dari segala macam perkataan jelek. Dengan begitu, mereka akan dapat menciptakan hubungan baik dengan siapa pun yang bergaul dengan mereka.

Abu Hurairah  menceritakan,


أَنَّ رَسُولَ اللهِ n وَقَفَ عَلَى نَاسٍ جُلُوسٍ فَقَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِكُم مِنْ شَرِّكُم؟ قَالَ: فَسَكَتُوا، فَقَالَ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ فَقَالَ رَجُلٌ: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ، أَخْبِرْنَا بِخَيْرِنَا مِنْ شَرِّنَا. قَالَ: خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ، وَشَرُّكُمْ مَنْ لاَ يُرْجَى خَيْرُهُ وَلاَ يُؤْمَنُ شَرُّهُ
Rasulullah n pernah berdiri di hadapan sekelompok sahabat yang sedang duduk. Lalu beliau bertanya, “Maukah kuberitahukan tentang orang yang terbaik dan orang yang terjelek di antara kalian?” Para sahabat terdiam. Beliau mengulangi pertanyaan itu sampai tiga kali. Berkatalah salah seorang dari mereka, “Tentu, wahai Rasulullah. Beri tahukanlah kepada kami orang yang terbaik dan orang yang terjelek di antara kami.” Beliau pun berkata, “Orang yang terbaik di antara kalian adalah yang bisa diharap kebaikannya dan orang lain merasa aman dari kejelekannya. Adapun orang yang terjelek di antara kalian adalah orang yang tak bisa diharap kebaikannya dan orang lain tak bisa merasa aman dari kejelekannya.” (HR. at-Tirmidzi no. 2263, dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani t dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)

Lebih dari itu, ucapan yang baik akan membuahkan keutamaan di akhirat nanti. Ini sebagaimana yang dijanjikan oleh Rasulullah n dalam hadits Sahl bin Sa’ad ,


مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Siapa yang bisa menjamin untukku apa yang ada di antara dua janggutnya (lisan -red.) dan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluan -red.), aku akan menjamin surga baginya.” (HR. al-Bukhari no. 6474)

Bahkan, ucapan yang lembut kepada ibu akan membawa kebaikan yang amat besar bagi mereka. Dikisahkan oleh Thaisalah bin Mayyas,
قَالَ لِي ابْنُ عُمَرَ: أَتَفْرَقُ مِنَ النَّارِ وَتُحِبُّ أَنْ تَدْخُلَ الْجَنَّةَ؟ قُلْتُ: إِي، وَاللهِ! قَال: أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟ قُلْتُ: عِنْدِي أُمِّي. قَالَ: فَوَاللهِ، لَوْ أَلَنْتَ لَهَا الْكَلاَمَ وَأَطْعَمْتَهَا الطَّعَامَ لَتَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ مَا اجْتَنَبْتَ الكَبَائِرَ.
Ibnu ‘Umar z pernah bertanya kepadaku, “Apakah engkau takut masuk neraka dan ingin masuk surga?” “Ya, demi Allah!” jawabku. “Kedua orang tuamu masih hidup?” ia bertanya lagi. “Aku masih punya ibu,” jawabku. “Demi Allah! Sungguh, kalau engkaulemah lembut berbicara dengannya dan selalu memberinya makan, sungguh engkau akan masuk surga selama engkau jauhi dosa besar.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 8, dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani t dalam Shahih al-Adabil Mufrad no. 6)

Demikianlah kenyataannya. Ucapan baik yang dibiasakan akan menjadi sesuatu yang melekat dan akan memuliakan pemiliknya di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, ucapan jelek yang biasa terucapkan akan melekat pula dan menghinakan pemiliknya di dunia dan di akhirat.
Dinyatakan oleh Rasulullah n dalam sabda beliau yang dinukil oleh sahabat yang mulia, Abu Hurairah ,


إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَرْفَعُهُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Sungguh, seseorang mengucapkan sebuah perkataan yang termasuk ucapan yang diridhai oleh Allah l, yang dia tidak menaruh perhatian pada ucapan itu, ternyata dengan ucapan itu Allah l mengangkatnya beberapa derajat. Sungguh, ada pula seorang hamba mengucapkan sebuah perkataan yang termasuk perkataan yang dimurkai oleh Allah l, yang dia tidak menaruh perhatian pada ucapan itu, ternyata dengan ucapan itu dia terjatuh ke dalam neraka Jahannam.” (HR. al-Bukhari)

Ketika Mu’adz bin Jabal z bertanya tentang amalan-amalan yang bisa memasukkan seseorang ke dalam surga dan menjauhkannya dari neraka, Rasulullah  kemudian bersabda,


أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمِلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ قُلْتُ: بَلَى، يَا رَسُوْلَ الله. قَالَ: فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ، قَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. فَقُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ – أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ – إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِم؟
“Maukah engkau kuberi tahu apa yang mengokohkan itu semua?” “Mau, wahai Rasulullah!” jawabku. Beliau pun memegang lidah beliau sambil berkata, “Tahanlah olehmu ini!” Aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, akankah kita dihukum karena apa yang kita ucapkan?” Beliau bersabda, “Ibumu kehilangan engkau, wahai Mu’adz! Bukankah seseorang ditelungkupkan dalam neraka di atas wajah mereka—atau hidung mereka—karena hasil ucapannya?” (HR. at-Tirmidzi no. 2616, dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani t dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Dalam Shahîh al-Bukhâri disebutkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:


إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ.
Sesungguhnya seseorang mengatakan satu kalimat yang diridhai Allah dan ia tidak menaruh perhatian terhadapnya, melainkan Allah akan mengangkatnya beberapa derajat. Sesungguhnya seorang hamba mengatakan kalimat yang dimurkai Allah dan ia tidak menaruh perhatian terhadapnya melainkan ia terjerumus dengan sebab kalimat itu ke Jahannam.[3] 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

إِنَّ أَكْثَرَ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فِيْ لِسَانِهِ.
Sesungguhnya kesalahan anak Adam yang paling banyak terletak pada lisannya.[4] 

Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: ”Yang dikatakan muslim itu adalah manusia selamat dari bahaya lidah dan tangannya”.
Imam Ali Radhiallhu’anhu berkata: ”Hati yang jahat terletak pada mulutnya, dan mulut yang baik, terletak pada hatinya”.
Sabda Rasulullah : ”Kullu kalam addu’a, setiap perkataan itu adalah merupakan do’a”. 
Rasulullah bersabda : “Bukanlah dikatakan berani bagi mereka yang dapat mengalahkan musuhnya, (yang bisa merasa memang atas sebuah pertikaian, perkelahian), Yang dikatakan
berani itu adalah mereka yang bisa menahan dirinya ketika dalam keadaan marah”.
Orang yang paling aku sukai adalah dia yang menunjukkan kesalahanku. (Umar bin Khattab)



Wallahu a’lamu bish-shawab.




0 comments:

Post a Comment

 
Top